Kamis, 30 Oktober 2014

kerajaan negara daha

PENADUHULUAN
Kerajaan negara daha adalah sebuah  kerajaan Hindu yang pernah berdri di Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari kerajaan Negara DIpa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/ Candi Agung. Kerajaan Negara Daha yang merupakan salah satu rangkaian pemerintahan yang kelak menjelma menjadi kesultanan Banjar yang bercorak Islam.`
A.    Sejarah Munculnya Kerajaan Negara Daha
Sejarah Kerajaan Negara Daha dimulai dari Kerajaan nan sarunai dan Kerajaan Nagara Dipa. Dimulai dari Kerajaan Nan Sarunai, eksitensi Kerajaan Nan Sarunai bertahan cukup lama. Memasuki abad ke-14. Benih-benih keruntuhan kerajaan ini mulai muncul. Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowula Mojokerto, JawaTimur), berambisi untuk menguasainya. Pada sekitar tahun 1355 Masehi Hayam Wuruk penguasa kerajaan Majapahit waktu itu, memerintahkan panglimanya  yang berama Empu Jatmika untuk  menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai. Akhirnya, Kerajaan Nan Sarunai menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit.
Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan baru di Pulau Hujung Tanah yang merupakan bekas wiayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan baru ini dinamakan Kerajaan Negara Dipa. Nama Dipa diambil dari bahasa Dayak yakni yang terletak di seberang. Pemberian nama kerajaan yang terletak di seberang ini mungkin sangat mengacu pada letak Kerajaaan DIpa yang terletak di seberang lautan jika ditempuh dari kerajaan Majapahit yang berlokasi di jawa.
Kerajaan Negara Dipa  yang mulai berdiri pada tahun 1365 M itu hanya bertahan kurang dari satu abad saja. Keruntuhan Negara Dipa berawal dari kepemimpinan Raden Sakur Sungsang atau yang dikena juga dengan nama Raden Maharaja Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Pada masa inilah Kerajaan Negara DIpa memulai keruntuhannya dan pada akhirnya digantikan oleh sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Negara Daha.
Beralihnya Kerajaan Negara Dipa menjadi Kerajaan Negara Daha terjadi pada masa pemrintahan Raden Sekar Sungsang. Terdapat peritiwa yang mewarnai pemerintahan  Kerajaan Negara Dipa pada masa sebelum dan hingga Raden Sekar Sungsang dinobatkan menjadi raja. Raja terakhir Kerajaan Negara Dipa ini telah menikahi ibunya sendiri, yaitu Ratu Kalungsu. Ratu Kalungsu adalah pemimpin Kerajaan Negara Dipa pasca ditinggalkan oleh suaminya.
Pada tahun 1448 M. Raden Sekar Sungsang dinobatkan sebagai pemimpin  Kerajaan Negara Dipa dan berhak menyandang gelar sebagai Maharaja sebagai symbol tertinggi peguasa. Setahun setelah Maharaja Rade Sari Kaburangan berkuasa di kerajaan Negara Dipa. Ia memindahkan kedudukan pusat pemerintahan ke Muara Haluk atau ditempat sekarang dikenal dengan nama Nagara. Sejak tahun 1449 M itulah kerajaan Negara Daha resmi berdiri. Tidak lama setelah kerajaan Negara Daha berdiri, Ratu Kalungsu yang masih tinggal di bekas istana Kerjaan Negara Dipa menghilang secara misterius bersama 500 orang penggiringya. Pada waktu yang hampir bersamaan, sang mangkubumi, Lambung Mangkurat meninggal dunia. Pengganti Lambung Mangkurat adalah Aria Taranggana untuk mendampingi Maharaja Sari Kaburangan mengelola pemeritahan  Kerajaan Negara Daha.
Tampilnya Maharaja Sari Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara Daha merupakan peristiwa yang menandai pulihnya kembali hegamoni etnis suku Dayak sebagai penguasa di tanah leluhurnya sendiri, sama seperti yang berlaku pada Kerajaan Nan Sarunai dahulu. Di dalam tubuh Maharaja Sari Kaburungan memang mengalir darah Jawa dari Majapahit yang diwarisinya dari kakek buyutnya yakni Pangeran Suryanata. Namun, darah Jawa itu sudah semakin memudar karena Maharaja Sari Kaburungan merupakan generasi ke-4 alias buyut. Ini berarti, secara genetic, darah mengalir di dalam tubuhnya didominasi oleh darah suku Dayak.[1]
Era pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan berakhir pada tahun 1486 M. selanjutnya tahta tertinggi pemerintahan Kerajaan Negara Daha dilajutkan oleh Raden Paksa yang kemudian menyandang gelar sebagai Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahan raja ke-2 Kerajaan Negara Daha ini tepatnya pada tahun 1511 M. Kerajaan Negara Daha menerima kedatangan orang-orang Melayu Semananjung tersebut melakukan migrasi massal seiring dengan takluknya Kesultanan Melaka oleh bangsa Portogis. Para imigran dari Melaka ini kemudian menetap di tepi kiri dan kanan Sungai  Kuin  atau di Muara Kuin  dan bergabung dengan  suku bangsa Melayu lainnya.
Pada akhir era pemerintahan Maharaja Sukarama terjadi pertikaian di lingkungan  internal Kerajaan Negara Daha. Permasalahan dimulai ketika pada tahun 1515 M. Maharaja Sukarama mengeluarkan wasiat agar kelak kekuasaan tertinggi dilimpahkan kepada cucunya yang bernama Raden Samudera. Kebijaksanaan ini mendapat tentangan dari ketiga putra Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, Pangeran Tumenggung, dan Pangeran Bagalung.
Benih-benih perpecahan mulai tumbuh di kalangan keluarga istana Kerajaan Negara Daha. Ketika Maharaja Sukarama meninggal dunia  pada tahun 1525 M. atau sepuluh tahun setelah  dikeluarkan  wasiat yang menununjuk Raden Samudera sebagai calon raja. Terjadilah perselisihan di antara keturunan Maharaja Sukarama. Putera sulung Maharaja Sukarama yakni Pangeran Aria Mangkubumi, yang merasa dilangkahi oleh keponakannya sendiri, merasa tidak terima dan kemudian merebut Kerajaan Negara Daha yang sebenarnya bukan menjadi haknya.
Raden Samudera yang masih berusia belia diungsikan ke hilir sungai Barito, tepatnya di Muara Kuin. Raden Samudera mendapat perlindungan dari beberapa kelompok suku bangsa yang bermukim di Muara Kuin, terutama oleh komunitas orang-orang Melayu. Oleh orang-orang Dayak, kampung orang-orang Melayu di Muara Kuin itu dengan nama “Banjar oloh Masih” yang berarti kampungya orang Melayu dengan pemimpinnya yang bernama Patih Masih. Banjar Oloh Masih lambat laun disingkat menjadi Banjarmasin hingga sekarang. Namun pada tahun 1525 M. itu, Maharaja Aria Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh. Setelah Aria Pangeran Mangkubumi meninggal dunia. Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya sebagai raja Kerajaan Negara Daha yang baru.
Sementara Raden Samudera, semakin mendapat tempat di kalangan orang-orang Melayu yang bermukim di Muara Kuin atau Banjarmasih. Dalam pelarian politiknya, Raden Samudera melihat bahwa Banjarmasih merupakan kekuatan potensial untuk mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Negara Daha. Potensi Banjarmasih untuk menentang kekuatan pusat akhirnya mendapat pengakuan ketika Raden Samudera diangkat menjadi pemimpin oleh kelompok Melayu di daerah itu.
Pengankatan Raden Samudera sebagai pemimpin di Banjarmasih melambangkan terbentuknya kekuatan politik tandingan. Perpaduan cultural, dan kelak merupakan embrio bagi kelahiran urang Banjar dan Keultanan Banjar. Terbentuknya kekuatan politik baru di Banjarmasih bagi Raden Samudera merupakan kekuatan tandingan untuk memperoleh haknya sebagai calon raja yang sah di Kerajaan Negara Daha. Sedangakan bagi kelompok Melayu, independendi mereka di Banjarmasih menjadi bentuk perlawanan untuk tidak membayar pajak kepada Kerajaan Negara Daha.
Konflik yang terjadi kemudian adalah perang saudara yang melibatkan kubu Pangeran Tumenggung dengan pihak Raden Samudera. Perang saudara antara keponakan dengan paman ini memakan korban jiwa yang cukup besar. Untuk melawan pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih kuat, Raden Samudera meminta bantuan dari Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono ( berkuasa sejak tahun 1524 M.). Sultan Trenggono menyanggupi permintaan Raden Samudera dengan syarat, Raden Samudera harus memeluk agama Islam jika ia berhasil memenangkan peperangan.
Pada tahun 1526 M. Raden Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggong dan resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan Negara Daha. Kemenangan Raden Samudera menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Negara Daha sekaligus menjadi awal dari berdirinya Kesultanan Banjar yang bercorak Islam. Setelah memglahkan Kerajaan Negara Daha, Raden Samudera memeluk agama Islam dan menobatkan dirinya sebagai pemimpin Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah sejak tanggal 25 september 1526 M.[2]
B.     Silsilah Kerajaan Negara Daha
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah duduk sebagai pemimpin Kerajaan Negara Daha:
1.      Maharaja Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung Rama Nata atau Ki Mas Lelana (1448-1486 M.)
2.      Maharaja Sukarama atau Raden Paksa (1486-1525 M.)
3.      Maharaja Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M.)
4.      Maharaja Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525-1526 M.)[3]


C.     Sistem Pemerintahan
Dalam struktur politik pemerintahan Kerajaan Negara Daha, raja adalah titik pusat kekuasaan Raja Negara Daha sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya atribut-atribut kerajaan seperti benda-benda pusaka, gelar atau mitos yang berfungsi mengabsahkan kedudukan raja sebagai penguasa.
Kedudukan raja dalam system pemerintahan Kerajaan Negara Daha diwaeisi secara turun-temurun sesuai dengan garis kekerabatan. Wewenang raja pada dasarnya merupakan salah satu komponen kekuasaan. Kerabat raja berada pada tataran kedudukan tinggi yang juga berhak menguasai rakyat sebagai hambanya. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh kandidat raja atau putra mahkota, yakni:
1.      Pangeran yang dipilih harus benar-benar keturunan raja dari permaisuri
2.      Dapat berbuat adil kepada rakyat dan keluarga
3.      Terbuka untuk menerima saran dan kritik
4.      Tidak boleh memiliki sifat iri dan dengki
5.      Bersedia menyelesaikan setiap persoalan yang ada melalui mufakat.[4]
Apabila putra mahkota belum cukup umur untuk menjabat sebagai raja, maka untuk sementara kendalli pemerintahan kerajaan dijalankan oleh system perwakilan yang terdiri dari kerabat raja.
D.    Wilayah Kekuasaan Kerajaan Negara Daha
Keseluruhan kekuasaan Kerajaan Negara Daha terbagi atas dua bagian, yakni wilayah negara (kraton) dan daerah taklukan. Bagian yang pertama, yakni wilayah negara merupakan wilayah unit politik terbesar. Istilah negara sendiri menunjukkan adanya suatu kawasan pemerintahan di bawah seorang pengeuasa tertinggi yang memakai gelar kehormatan maharaja di depan namanya dengan pemerintahan yang merdeka. Wilayah negara juga disebut wilayah inti yang merupakan pusat pemerintahan kerajaan  sekaligus berfugsi  sebagai ibukota negara.
Pusat pemerintahan Kerajaan Negara Daha terletak di sebuah tempat yang dikenal sebagai Muara Hulak. Selain itu, kerajaan ini juga mempunyai pelabuhan dan Bandar dagang yang terletak di Muara Bahan.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha meliputi daerah-daerah yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Negara Dipa, termasuk juga wilayah taklukkan. Seperti : Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai, Batang Amandit, Batang Emas, Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan dan Berau.[5]
E.     Bukti Peninggalan Sejarah
Kerajaan Negara Daha masih memiliki koleksi barang-barang atau pusaka yang berasal dari kerajaan Majapahit, antara lain: mahkota kerajaan, gamelan yang bernama larasati, gong yang bernama rambut peradah, canang yang bernama Macan Papatuk, tombak yang bernama pnutos, dan keris yang bernama masagirang dan jokopitoron, singasanam emas, payung kerajaan, keris bernama baru lembah dan naga salira dengan sarungnya yang berbalut dari emas dan gagangnya berlian, sebilah  pedang, lima buah tombak, beberpa buah perisai  yang terbuat dari emas dan perak,Salah satu peniggalan arkeologis adalah penemuan sebuah candi laras. Candi ini terletak di pinggiran desa Margasari, Kecamatan Candi Laras Selatan.
F.      Kesimpulan
Kerajaan negara daha adalah sebuah  kerajaan Hindu yang pernah berdri di Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari kerajaan Negara DIpa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/ Candi Agung. Kerajaan Negara Daha yang merupakan salah satu rangkaian pemerintahan yang kelak menjelma menjadi kesultanan Banjar yang bercorak Islam.
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah duduk sebagai pemimpin Kerajaan Negara Daha:
1.      Maharaja Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung Rama Nata atau Ki Mas Lelana (1448-1486 M.)
2.      Maharaja Sukarama atau Raden Paksa (1486-1525 M.)
3.      Maharaja Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M.)
4.      Maharaja Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525-1526 M.)








[1] Wikipedia,Kerajaan Negara daha.com, 17-07-2009


[2] Badan penelitian dan pengembangan daerah prov.kalsel, urang banjar dan kebudayaannya, banjrmasin 2005. Hal 68-70

[3] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, (Jakarta: Raja Grafindo,1997), hal. 42
[4] Adum M Sahriadi, Sinopsis Hikayat Banjar, (Jakarta: rajagrafindo, 2009) hal 45
[5] Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, (yogya: tiara wacana, 1933) hal. 193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar