PENADUHULUAN
Kerajaan negara daha adalah sebuah
kerajaan Hindu yang pernah berdri di Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara
Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Kerajaan Negara Daha merupakan
kelanjutan dari kerajaan Negara DIpa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/
Candi Agung. Kerajaan Negara Daha yang merupakan salah satu rangkaian
pemerintahan yang kelak menjelma menjadi kesultanan Banjar yang bercorak
Islam.`
A.
Sejarah
Munculnya Kerajaan Negara Daha
Sejarah Kerajaan Negara Daha dimulai dari Kerajaan nan sarunai dan
Kerajaan Nagara Dipa. Dimulai dari Kerajaan Nan Sarunai, eksitensi Kerajaan Nan
Sarunai bertahan cukup lama. Memasuki abad ke-14. Benih-benih keruntuhan
kerajaan ini mulai muncul. Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowula
Mojokerto, JawaTimur), berambisi untuk menguasainya. Pada sekitar tahun 1355
Masehi Hayam Wuruk penguasa kerajaan Majapahit waktu itu, memerintahkan
panglimanya yang berama Empu Jatmika
untuk menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai.
Akhirnya, Kerajaan Nan Sarunai menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit.
Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan baru di Pulau Hujung Tanah
yang merupakan bekas wiayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan baru ini
dinamakan Kerajaan Negara Dipa. Nama Dipa diambil dari bahasa Dayak yakni yang
terletak di seberang. Pemberian nama kerajaan yang terletak di seberang ini
mungkin sangat mengacu pada letak Kerajaaan DIpa yang terletak di seberang
lautan jika ditempuh dari kerajaan Majapahit yang berlokasi di jawa.
Kerajaan Negara Dipa yang
mulai berdiri pada tahun 1365 M itu hanya bertahan kurang dari satu abad saja.
Keruntuhan Negara Dipa berawal dari kepemimpinan Raden Sakur Sungsang atau yang
dikena juga dengan nama Raden Maharaja Sari Kaburangan yang berkuasa sejak
tahun 1448 M. Pada masa inilah Kerajaan Negara DIpa memulai keruntuhannya dan
pada akhirnya digantikan oleh sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Negara Daha.
Beralihnya Kerajaan Negara Dipa menjadi Kerajaan Negara Daha
terjadi pada masa pemrintahan Raden Sekar Sungsang. Terdapat peritiwa yang
mewarnai pemerintahan Kerajaan Negara
Dipa pada masa sebelum dan hingga Raden Sekar Sungsang dinobatkan menjadi raja.
Raja terakhir Kerajaan Negara Dipa ini telah menikahi ibunya sendiri, yaitu
Ratu Kalungsu. Ratu Kalungsu adalah pemimpin Kerajaan Negara Dipa pasca
ditinggalkan oleh suaminya.
Pada tahun 1448 M. Raden Sekar Sungsang dinobatkan sebagai
pemimpin Kerajaan Negara Dipa dan berhak
menyandang gelar sebagai Maharaja sebagai symbol tertinggi peguasa. Setahun
setelah Maharaja Rade Sari Kaburangan berkuasa di kerajaan Negara Dipa. Ia memindahkan
kedudukan pusat pemerintahan ke Muara Haluk atau ditempat sekarang dikenal
dengan nama Nagara. Sejak tahun 1449 M itulah kerajaan Negara Daha resmi
berdiri. Tidak lama setelah kerajaan Negara Daha berdiri, Ratu Kalungsu yang
masih tinggal di bekas istana Kerjaan Negara Dipa menghilang secara misterius
bersama 500 orang penggiringya. Pada waktu yang hampir bersamaan, sang
mangkubumi, Lambung Mangkurat meninggal dunia. Pengganti Lambung Mangkurat
adalah Aria Taranggana untuk mendampingi Maharaja Sari Kaburangan mengelola
pemeritahan Kerajaan Negara Daha.
Tampilnya Maharaja Sari Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara
Daha merupakan peristiwa yang menandai pulihnya kembali hegamoni etnis suku
Dayak sebagai penguasa di tanah leluhurnya sendiri, sama seperti yang berlaku pada
Kerajaan Nan Sarunai dahulu. Di dalam tubuh Maharaja Sari Kaburungan memang
mengalir darah Jawa dari Majapahit yang diwarisinya dari kakek buyutnya yakni
Pangeran Suryanata. Namun, darah Jawa itu sudah semakin memudar karena Maharaja
Sari Kaburungan merupakan generasi ke-4 alias buyut. Ini berarti, secara
genetic, darah mengalir di dalam tubuhnya didominasi oleh darah suku Dayak.[1]
Era pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan berakhir pada tahun 1486
M. selanjutnya tahta tertinggi pemerintahan Kerajaan Negara Daha dilajutkan
oleh Raden Paksa yang kemudian menyandang gelar sebagai Maharaja Sukarama. Pada
masa pemerintahan raja ke-2 Kerajaan Negara Daha ini tepatnya pada tahun 1511
M. Kerajaan Negara Daha menerima kedatangan orang-orang Melayu Semananjung
tersebut melakukan migrasi massal seiring dengan takluknya Kesultanan Melaka
oleh bangsa Portogis. Para imigran dari Melaka ini kemudian menetap di tepi
kiri dan kanan Sungai Kuin atau di Muara Kuin dan bergabung dengan suku bangsa Melayu lainnya.
Pada akhir era pemerintahan Maharaja Sukarama terjadi pertikaian di
lingkungan internal Kerajaan Negara
Daha. Permasalahan dimulai ketika pada tahun 1515 M. Maharaja Sukarama
mengeluarkan wasiat agar kelak kekuasaan tertinggi dilimpahkan kepada cucunya
yang bernama Raden Samudera. Kebijaksanaan ini mendapat tentangan dari ketiga
putra Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, Pangeran Tumenggung,
dan Pangeran Bagalung.
Benih-benih perpecahan mulai tumbuh di kalangan keluarga istana
Kerajaan Negara Daha. Ketika Maharaja Sukarama meninggal dunia pada tahun 1525 M. atau sepuluh tahun
setelah dikeluarkan wasiat yang menununjuk Raden Samudera sebagai
calon raja. Terjadilah perselisihan di antara keturunan Maharaja Sukarama.
Putera sulung Maharaja Sukarama yakni Pangeran Aria Mangkubumi, yang merasa
dilangkahi oleh keponakannya sendiri, merasa tidak terima dan kemudian merebut
Kerajaan Negara Daha yang sebenarnya bukan menjadi haknya.
Raden Samudera yang masih berusia belia diungsikan ke hilir sungai
Barito, tepatnya di Muara Kuin. Raden Samudera mendapat perlindungan dari
beberapa kelompok suku bangsa yang bermukim di Muara Kuin, terutama oleh
komunitas orang-orang Melayu. Oleh orang-orang Dayak, kampung orang-orang
Melayu di Muara Kuin itu dengan nama “Banjar oloh Masih” yang berarti kampungya
orang Melayu dengan pemimpinnya yang bernama Patih Masih. Banjar Oloh Masih
lambat laun disingkat menjadi Banjarmasin hingga sekarang. Namun pada tahun
1525 M. itu, Maharaja Aria Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh. Setelah Aria
Pangeran Mangkubumi meninggal dunia. Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya
sebagai raja Kerajaan Negara Daha yang baru.
Sementara Raden Samudera, semakin mendapat tempat di kalangan orang-orang
Melayu yang bermukim di Muara Kuin atau Banjarmasih. Dalam pelarian politiknya,
Raden Samudera melihat bahwa Banjarmasih merupakan kekuatan potensial untuk
mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Negara Daha. Potensi Banjarmasih untuk
menentang kekuatan pusat akhirnya mendapat pengakuan ketika Raden Samudera
diangkat menjadi pemimpin oleh kelompok Melayu di daerah itu.
Pengankatan Raden Samudera sebagai pemimpin di Banjarmasih
melambangkan terbentuknya kekuatan politik tandingan. Perpaduan cultural, dan
kelak merupakan embrio bagi kelahiran urang Banjar dan Keultanan Banjar.
Terbentuknya kekuatan politik baru di Banjarmasih bagi Raden Samudera merupakan
kekuatan tandingan untuk memperoleh haknya sebagai calon raja yang sah di
Kerajaan Negara Daha. Sedangakan bagi kelompok Melayu, independendi mereka di
Banjarmasih menjadi bentuk perlawanan untuk tidak membayar pajak kepada
Kerajaan Negara Daha.
Konflik yang terjadi kemudian adalah perang saudara yang melibatkan
kubu Pangeran Tumenggung dengan pihak Raden Samudera. Perang saudara antara
keponakan dengan paman ini memakan korban jiwa yang cukup besar. Untuk melawan
pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih kuat, Raden Samudera meminta bantuan
dari Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono ( berkuasa
sejak tahun 1524 M.). Sultan Trenggono menyanggupi permintaan Raden Samudera
dengan syarat, Raden Samudera harus memeluk agama Islam jika ia berhasil
memenangkan peperangan.
Pada tahun 1526 M. Raden Samudera berhasil mengalahkan Pangeran
Tumenggong dan resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan Negara
Daha. Kemenangan Raden Samudera menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Negara
Daha sekaligus menjadi awal dari berdirinya Kesultanan Banjar yang bercorak
Islam. Setelah memglahkan Kerajaan Negara Daha, Raden Samudera memeluk agama
Islam dan menobatkan dirinya sebagai pemimpin Kesultanan Banjar dengan gelar
Sultan Suriansyah sejak tanggal 25 september 1526 M.[2]
B.
Silsilah
Kerajaan Negara Daha
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah duduk sebagai
pemimpin Kerajaan Negara Daha:
1.
Maharaja
Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung Rama Nata atau Ki
Mas Lelana (1448-1486 M.)
2.
Maharaja
Sukarama atau Raden Paksa (1486-1525 M.)
3.
Maharaja
Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M.)
4.
Maharaja
Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525-1526 M.)[3]
C.
Sistem
Pemerintahan
Dalam struktur politik pemerintahan Kerajaan Negara Daha, raja
adalah titik pusat kekuasaan Raja Negara Daha sebagai pemegang jabatan
tertinggi dalam hierarki kerajaan mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Hal
ini terlihat dengan terdapatnya atribut-atribut kerajaan seperti benda-benda
pusaka, gelar atau mitos yang berfungsi mengabsahkan kedudukan raja sebagai
penguasa.
Kedudukan raja dalam system pemerintahan Kerajaan Negara Daha
diwaeisi secara turun-temurun sesuai dengan garis kekerabatan. Wewenang raja
pada dasarnya merupakan salah satu komponen kekuasaan. Kerabat raja berada pada
tataran kedudukan tinggi yang juga berhak menguasai rakyat sebagai hambanya.
Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh kandidat raja atau putra
mahkota, yakni:
1.
Pangeran
yang dipilih harus benar-benar keturunan raja dari permaisuri
2.
Dapat
berbuat adil kepada rakyat dan keluarga
3.
Terbuka
untuk menerima saran dan kritik
4.
Tidak
boleh memiliki sifat iri dan dengki
5.
Bersedia
menyelesaikan setiap persoalan yang ada melalui mufakat.[4]
Apabila putra mahkota belum cukup umur untuk menjabat sebagai raja,
maka untuk sementara kendalli pemerintahan kerajaan dijalankan oleh system
perwakilan yang terdiri dari kerabat raja.
D.
Wilayah
Kekuasaan Kerajaan Negara Daha
Keseluruhan kekuasaan Kerajaan Negara Daha terbagi atas dua bagian,
yakni wilayah negara (kraton) dan daerah taklukan. Bagian yang pertama, yakni
wilayah negara merupakan wilayah unit politik terbesar. Istilah negara sendiri
menunjukkan adanya suatu kawasan pemerintahan di bawah seorang pengeuasa
tertinggi yang memakai gelar kehormatan maharaja di depan namanya dengan
pemerintahan yang merdeka. Wilayah negara juga disebut wilayah inti yang merupakan
pusat pemerintahan kerajaan sekaligus
berfugsi sebagai ibukota negara.
Pusat
pemerintahan Kerajaan Negara Daha terletak di sebuah tempat yang dikenal
sebagai Muara Hulak. Selain itu, kerajaan ini juga mempunyai pelabuhan dan
Bandar dagang yang terletak di Muara Bahan.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha meliputi daerah-daerah yang
sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Negara Dipa, termasuk juga
wilayah taklukkan. Seperti : Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang
Alai, Batang Amandit, Batang Emas, Sukadana, Sambas, Batang Lawai,
Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan dan Berau.[5]
E.
Bukti
Peninggalan Sejarah
Kerajaan Negara Daha masih memiliki koleksi barang-barang atau
pusaka yang berasal dari kerajaan Majapahit, antara lain: mahkota kerajaan,
gamelan yang bernama larasati, gong yang bernama rambut peradah, canang yang
bernama Macan Papatuk, tombak yang bernama pnutos, dan keris yang bernama
masagirang dan jokopitoron, singasanam emas, payung kerajaan, keris bernama
baru lembah dan naga salira dengan sarungnya yang berbalut dari emas dan
gagangnya berlian, sebilah pedang, lima
buah tombak, beberpa buah perisai yang
terbuat dari emas dan perak,Salah satu peniggalan arkeologis adalah penemuan
sebuah candi laras. Candi ini terletak di pinggiran desa Margasari, Kecamatan
Candi Laras Selatan.
F.
Kesimpulan
Kerajaan negara daha adalah sebuah
kerajaan Hindu yang pernah berdri di Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara
Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Kerajaan Negara Daha merupakan
kelanjutan dari kerajaan Negara DIpa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/
Candi Agung. Kerajaan Negara Daha yang merupakan salah satu rangkaian
pemerintahan yang kelak menjelma menjadi kesultanan Banjar yang bercorak Islam.
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah duduk sebagai
pemimpin Kerajaan Negara Daha:
1.
Maharaja
Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung Rama Nata atau Ki
Mas Lelana (1448-1486 M.)
2.
Maharaja
Sukarama atau Raden Paksa (1486-1525 M.)
3.
Maharaja
Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M.)
4.
Maharaja
Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525-1526 M.)
[2]
Badan
penelitian dan pengembangan daerah prov.kalsel, urang banjar dan kebudayaannya,
banjrmasin 2005. Hal 68-70
[3]
Alfani Daud,
Islam dan Masyarakat Banjar, (Jakarta: Raja Grafindo,1997), hal. 42
[4] Adum M
Sahriadi, Sinopsis Hikayat Banjar, (Jakarta: rajagrafindo, 2009) hal 45
[5] Tjilik Riwut,
Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, (yogya: tiara wacana, 1933) hal. 193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar