Kamis, 30 Oktober 2014

filsafat al ghazali

PENDAHULUAN
Pengalihan pengetahuan ilmiah dan Filsafat Yunani ke dunia Islam, dan penyerapan serta pengintegrasian pengetahuan oleh umat Islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik. Dalam sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu kebudayaan asing dapat diterima sedemikian rupa oleh kebudayaan lain, yang kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan inytelektual dan pemahaman filosofinya.
Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia Islam, pada dasarnya terdapat upaya rekonsilasi dalam arti mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang berbeda, bahkan sering kali ekstrim antara pandangan filsafat Yunani, seperti filsafat Plato dan Aristoteles, dengan pandangan keagamaan dalam Islam yang sering kali menimbulkan benturan-benturan. Sebagai contoh konkrit dapat disebutkan bahwa plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab eklektisisme. Al Farabi dalam hal ini, memilki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus bersepakat di antara mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran. Bahkan bisa dikatakan para filosof Muslim mulai dari Al-Kindi sampai Ibn Rusyd terlibat dalam upaya rekonsilasi tersebut, dengan cara mengemukakan pandangan-pandangan yang relatif baru dan menarik. Usaha-usaha mereka pada gilirannya menjadi alat dalam penyebaran filsafat dan penetrasinya ke dalam studi-studi keislaman lainnya, dan tak diragukan lagi upaya rekonsiliasi oleh para filosof Muslim ini menghasilkan afinitas dan ikatan yang kuat antara filsafat Arab dan filsafat Yunani.





PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M. di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Naisapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di madrasah al-Nizamah Naisapur. Di antara mata pelajaran yang diberikan di mdarasah ini adalah ilmu kalam, hukum Islam, filsafat. Logika, sufisme, dan lain-lain.
Dengan perantara al-Juwaini, al-Ghazali berkenalan dengan Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Malik Syah. Nizam al-Mulk adalah pendiri dari Madarasah Nizamiah di tahun 1091 M. al-Ghazali diangkat menjadi guru di Madrasah al-Nizamiah Baghdad.
Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal sebagai orang yang pada mulanya syak terhadap segala-galanya. Perasaan syak ini kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperolehnya dari al-Juwaini. Sebagaimana diketahui dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali, aliran manakah yang betul-betul benar di antara semua aliran itu?
Seperti dijelaskan al-Ghazali dalam kitabnya al-Munqiz min al-Dalal (penyelamat dari kesesatan), ia ingin mencari kebenaran yang sebenarnya, yaitu kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari pada tiga.[1]
B.     Pemikirannya
Pemikiran filsafat terpenting yang dimunculkan oleh Al-Ghazali ialah  kritik dan serangannya terhadap filsafat. Selain itu terdapat juga pemikirannya tentang epistemology dan tentang jiwa.

1.      Kritik dan Serangan Terhadap Filsafat
Sebelum membicarakan kritik dan serangan yang dilakukan Al-Ghazali terhadap filsafat, terlebih dahulu perlu dikemukakan bagaimana pandangan Al-Ghazali terhadap filosof. Hal ini penting karena dari filosof itulah munculnya pemikiran fisafat yang sering di antara pemikiran filsafat itu ada yang di kritik dan diserang oleh Al-Ghazali.
Al- Ghazali mempelajari dan memperdalam filsafat adalah secara otodidak. Meskipun secara otodidak, namun ia berhasil menguasai filsafat yang ada pada saat itu, dan juga ia mampu memberikan pandangan atau penilaian terhadap para filosof. Di dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal ia mengatakan bahwa para filosof itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu:
a.       Golongan Atheis (Dahriyyun)
Golongan ini mengingkari adanya Tuhan, pencipta alam semesta. Menurut mereka, alam ini telah ada dengan sendirinya sejak semula. Adanya alam bukan karena diciptakan. Kareana itu, tidak ada yang menciptakan ala mini. Dengan demikian, mereka mengingkari adanya Tuhan.menurut Al-Ghazali mereka ini Zandiq.
b.      Golongan Naturalis (Thabi’iyyun)
Golongan ini memusatkan perhatiannya pada alam fisika, terutama hewan dan tumbuh-tumbuhan. Keajaiban yang mereka temukan dalam masalah ini telah membawa mereka mengakui adanya Pencipta Yang Maha Bijaksana. Hanya karena dugaan bahwa adanya daya berpikir pada manusia mengikuti tempramen itu, maka mereka berpendapat bahwa jiwa akan fana, dan tidak akan kembali lagi. Konsekuensinya mereka mengingkari  adanya hari akhirat, surga, dan neraka.
c.       Golongan Theis (Ilahiyyun)
Golongan ini mereka mengakui adanya Tuhan, seperti Sokrates, Aristoteles, dan para pengikutnya, termasuk para pengikutnya dari kalangan filosof Islam seperti Al-Farabi dan Ibnu sina. Meskipun mereka itu mengakui adanya Tuhan, namun sebagian dari pendapat atau pemikiran filsafat mereka, menurut Al-Ghazali ada yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pendapat para filosof bahwa alam adalah qadim, menurut Al-Ghazali, bertentangan dengan ajaran Islam. Karena dalam ajaran Islam, Tuhan adalah pencipta, dan dialah pencipta alam semesta ini. Sedang Pencipta adalah yang mewujudkan dari tiada kepada ada. Kalau alam ini qadim, maka alam telah ada sejak azali, adanya tidak punya permulaan, dan tidak pernah tidak ada sebelumnya. Kalau demikian, berarti alam ini tidak diciptakan, dan Tuhan bukan Pencipta. Pencipta menurut paham teologi Islam adalah mewujudkan alam dari tiada kepada ada. Hal ini berarti bahwa ala mini adanya punya permulaan dan sebelumnya ia tidak ada. Dengan demikian, mestilah alam ini tidak qadim. Oleh karena itu, jelaslah pendapat kalangan filosof bertentangan dengan ajaran teologi Islam. Itulah yang menjadi alasan bagi Al-Ghazali menyerang pendapat tersebut dan menyatakan bahwa mereka yang berpendapat itu telah menjadi kafir.
Kemudian pendapat tidak ada kebangkitan jasmani di akhirat dan yang ada hanya kebangkitan rohani, menurut Al-Ghazali, bertentangna dengan ajaran Islam. Meskipun secara akal pikiran tidak mungkin jasmani yang telah hancur binasa itu dapat dikembalikan seperti pada waktu masih hidup. Akan tetapi, menurut Al-Ghazali, karena sifat kemahakuasaan Tuhan, bahwa Tuhan mampu membangkitkan kembali tubuh dan tulang belulang manusia yang telah hancur  menjadi tanah ke dalam bentuk semula.



2.      Epistemology
Epistemology secara sederhana dapat diartikan dengan ilmu yang membahas tentang ilmu dan bagaimana cara memperolehnya. Karena pembahasannya yang demikian, maka epistemology merupakan bagian dari filsafat.
Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa kebenaran yang ingin ia dapatkan adalah kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakini betul-betul kebenaran, sebagaimana kebenaran sepuluh adalah lebih banyak dari tiga. Sekiranya, kata Al-Ghazali, ada orang yang mengatakan bahwa tiga adalah lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang dapat ia lakukan, saya akan kagum terhadap apa yang dapat ia lakukakn, namun keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari pada tiga tidak akan goyah. Seperti inilah, meurutnya, ilmu atau pengetahuan yang sebenarnya. Pengetahuan yang kebenarannya dapat diyakini betul-betul kebenaran yang sebenarnya itulah, kata Al-Ghazali, yang ia cari.
Al-Ghazali pada mulanya beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Tetapi kemudian, menurutnya, panca indera juga berdusta. Contohnya bintang-bintang yang ada di langit, kelihatannya kecil, tetapi perihitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi. Karena itu, ia berubah menjadi tidak percaya kepada panca indera.
Kemudian Al-Ghazali meletakkan kepercayaannya kepada akal, yang kemudian berubah menjadi tidak percaya. Itulah sebabnya Al-Ghazali berpendapat filsafat tidak memberikan pengetahuan yang dapat diyakini kebenarannya.
Akhirnya, Al-Ghazali merasa mendapatkan pengetahuan yang dapat diyakini kebenarannya dalam ilmu tasawwuf. Menurutnya, pengetahuan yang dapat diyakini kebenarannya itu adalah pengetahuan yang diberikan Tuhan ke dalam hati sufi tertentu yang hatinya telah bersih dan sanggup menerima pengetahuan tersebut. Pengetahuan seperti ini oleh Al-Ghazali disebut ma’rifah.
Orang yang hatinya bersih itu adalah para sufi yang telah menjalani riyadhah (latihan ibadah), mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu), dan tazkiah al-qalb (membersihkan hati) sebagaimana yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Oleh karena itu hanya di dalam tasawuflah bagi Al-Ghazali pengetahuan yang kebenarannya dapat diyakini itu bisa didapatkan.
Dari keterangan di atas ini dapat dipahami bahwa dari segi epitemologi bagi Al-Ghazali pengetahuan yang benar-benar mengandung kebenaran adalah bersumber dari Tuhan dan diperoleh oleh orang tertentu melalui ilham, seperti yang diperoleh oleh para nabi melalui wahyu.[2]
3.      Tentang Jiwa
Jiwa, menurut Al-Ghazali adalah jauhar (substansi) yang halus, dan ia bukan ‘aradh (aksiden). Ia mempunyai wujud sendiri, lain dari jasad. Jiwa bearada di alam spiritual, sedang jasad di alam materi. Jiwa berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifat jiwa ilahiyah. Jiwa setiap orang diciptakan Tuhan di alam arwah pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad menjadi musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut,dan ia akan abadi meskipun jasad telah menjadi musnah.
Menurut Al-Ghazali, semua yang ada pada jasad merupakan pembantu jiwa. Sebagian dari pembantu itu terlihat nyata, seperti tangan, kaki, dan bagian-bagian tubuh luar dan dalam yang lain. Pembantu lain yang tidak terlihat, dapat dikelompokkankepada tiga macam, yaitu:
1.      Yang berfungsi sebagai sumber bagi motif dan rangsangan, motif (dorongan) yang merusak disebut kemarahan.
2.      Kekeuatan yang menggerakkan anggotan badan ke arah benda yang diinginkan atau menjauhi benda yang dibenci, ini menebara pada semua anggota tubuh, khususnya pada otak dan syaraf.
3.      Kemampuan menangkap pengetahuan, yang terdiri dari dua macam alat, yang pertama pancaindera, dan yang kedua ialah lima daya yang berada pada lima tempat di otak manusia. Kemampuan-kemampuan ini adalah daya khayal, yaitu penggambaran atau representasi, daya simpan, daya pikir, daya ingat, dan indera bersama.[3]
4.      Golongan Manusia
Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
1.      Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali
2.      Kaum pilihan yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
3.      Kaum ahli debat
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap member nasehat dan petunjuk. Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah,sedang kaum ahli debat dengan sikap mematahkan argument-argumen.
Sebagaimana filosuf-filosuf dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini membagi manusia ke dalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama. Oleh karena itu, apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamannya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut daya fikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kamu khawas, sebaliknya membaca yang tersirat.[4]



C.     Karya Al-Ghazali
Di antara karangan yang banyak dari Al-Ghazali itu ada beberpa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan ulama Indonesia. Namun sangat dikenal oleh negeri barat. Yaitu di antaranya buku yang menyebabkan polemic di antara ahli filsafat, buku tesebut adalah maqashidul falasafah (tujuan para ahli filsafat) dan kitab tahafut al falasafah (keberantakan para filosuf).
Ibnu Al ‘Ibri dan Raymond Martin banyak mengambil pikiran-pikiran Al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal (Perancis 1623-1662) dan filosuf-filosuf barat lainnya sebagaimana yang diakui Asin-Palacios, banyak persamaan dengan Al-Ghazali dalam pendiriannya, bahwa pengetahun-pengetahuan agama tidak bisa diperoleh dari akal pikiran, melainkan harus berdasarkan hati dan rasa.
Thomas Aquinas (Italia, 1226-1274) yang dengan pedasnya menyerang Al-Ghazali, ketika menguraikan penglihatan (ru’yat) manusia terhadap Tuhan di akhirat, uraiannya sama dengan uraian Al-Ghazali, Dante (Italia, 1265-1321 M.) dalam menulis bukunya, devina commidia (komidi ketuhanan) banyak mengambil tulisan Al-Ghazali tentang mi’raj.
Karangan Al-Ghazali, disamping ada teman-teman yang sepaham dengan pemikirannya, ada pula yang menentang pemikirannya. Adapun yang sepaham adalah Renan Casanova, Carro De Vaux, dan lain-lain. Sedang yang menentang adalah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain dari kalangan fuqaha.
Adanya penyerangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf adalah disebabkan oleh sikap Al-Ghazali yang menentang para filosuf Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal yaitu:
1)      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani
2)      Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja, dan
3)      Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.[5]
Karya al-Ghazali di bidang Filsafat:
a.       Maqashid al-Falasifat, berisi mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu mantiq, fisika, dan ilmu alam.
b.      Tahafut al-Falasifat, berisi pertentangan yang ada dalam ajaran filsafat, serta dijelaskannya juga ketidaksesuainnya dengan akal
c.       Al-Ma’riful ‘Aqliyah, kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemudian hakikat apa yang dihasilkan serta kea rah mana tujuan pastinya.[6]












                                                                     PENUTUP          
   Pemikiran filsafat terpenting yang dimunculkan oleh Al-Ghazali ialah  kritik dan serangannya terhadap filsafat. Selain itu terdapat juga pemikirannya tentang epistemology dan tentang jiwa.
Di dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal ia mengatakan bahwa para filosof itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu:
Golongan Atheis (Dahriyyun), Golongan Naturalis (Thabi’iyyun) dan, Golongan Theis (Ilahiyyun).
Mengenai epystemologi al-Ghazali menjelaskan bahwa kebenaran yang ingin ia dapatkan adalah kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakini betul-betul kebenaran, sebagaimana kebenaran sepuluh adalah lebih banyak dari tiga. Sekiranya, kata Al-Ghazali, ada orang yang mengatakan bahwa tiga adalah lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang dapat ia lakukan, saya akan kagum terhadap apa yang dapat ia lakukakn, namun keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari pada tiga tidak akan goyah.
 Sedangkan jiwa, menurut Al-Ghazali adalah jauhar (substansi) yang halus, dan ia bukan ‘aradh (aksiden). Ia mempunyai wujud sendiri, lain dari jasad. Jiwa bearada di alam spiritual, sedang jasad di alam materi.
Jadi, al-Ghazali sebenarnya adalah seoarang pemikir, dia mendefinisikan sesuatu dengnan ilmu tasawuffnya. Termasuk kritikan yang dia berika terhadap para filosof yang menurutnya keluar jalur dari ajaran Islam sebagaimana yang disebutkan di atas.





DAFTAR PUSTAKA

AB, Hadariansyah. Pengantar Filsafat Islam, Cet. Ke-1. Banjarmasin:Kapusari Press, 2012.
Maftukhin.Filsafat Islam, Cet. Ke-1. Yogyakarta: Teras Perum Polri Gowok, 2012.
Mustofa, Ahmad. Filsafat Islam, Cet. Ke-1. Bandung: CV Pustaka Setia,1997.
M.M. Syarif. Para Pilosof Muslim. Mizan:1963.
Sudarsono.Filsafat Islam, Cet. Ke-1. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.






[1] M.M. Syarif. Para Pilosof Muslim. Mizan:1963.hal (…)

[2] Hadariansyah AB, Pengantar Filsafat Islam, Banjarmasin, kafursari press 2012, hal 111-118

[3] Ibid , hal 122-123
[4] Maftukhin, Filsafat Islam, Yogyakarta, Teras, 2012 hal 137-138
[5] H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung, Pustaka Setia ,1997. Hal 219-221
[6]Sudarsono.Filsafat Islam, Cet. Ke-1. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar