PENDAHULUAN
Pengalihan pengetahuan ilmiah dan Filsafat Yunani ke dunia
Islam, dan penyerapan serta pengintegrasian pengetahuan oleh umat Islam,
merupakan sebuah catatan sejarah yang unik. Dalam sejarah peradaban manusia,
amat jarang ditemukan suatu kebudayaan asing dapat diterima sedemikian rupa
oleh kebudayaan lain, yang kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan
inytelektual dan pemahaman filosofinya.
Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia Islam, pada
dasarnya terdapat upaya rekonsilasi dalam arti mendekatkan dan mempertemukan
dua pandangan yang berbeda, bahkan sering kali ekstrim antara pandangan
filsafat Yunani, seperti filsafat Plato dan Aristoteles, dengan pandangan
keagamaan dalam Islam yang sering kali menimbulkan benturan-benturan. Sebagai
contoh konkrit dapat disebutkan bahwa plato dan Aristoteles telah memberikan
pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab eklektisisme. Al
Farabi dalam hal ini, memilki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan
filsafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus bersepakat di antara mereka sepanjang
yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran. Bahkan bisa dikatakan para filosof
Muslim mulai dari Al-Kindi sampai Ibn Rusyd terlibat dalam upaya rekonsilasi
tersebut, dengan cara mengemukakan pandangan-pandangan yang relatif baru dan
menarik. Usaha-usaha mereka pada gilirannya menjadi alat dalam penyebaran
filsafat dan penetrasinya ke dalam studi-studi keislaman lainnya, dan tak
diragukan lagi upaya rekonsiliasi oleh para filosof Muslim ini menghasilkan
afinitas dan ikatan yang kuat antara filsafat Arab dan filsafat Yunani.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali lahir
pada tahun 1059 M. di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Naisapur,
juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam
al-Haramain al-Juwaini, guru besar di madrasah al-Nizamah Naisapur. Di antara
mata pelajaran yang diberikan di mdarasah ini adalah ilmu kalam, hukum Islam,
filsafat. Logika, sufisme, dan lain-lain.
Dengan perantara al-Juwaini, al-Ghazali berkenalan dengan
Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Malik Syah. Nizam al-Mulk adalah pendiri
dari Madarasah Nizamiah di tahun 1091 M. al-Ghazali diangkat menjadi guru di
Madrasah al-Nizamiah Baghdad.
Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal sebagai orang
yang pada mulanya syak terhadap segala-galanya. Perasaan syak ini kelihatannya
timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperolehnya
dari al-Juwaini. Sebagaimana diketahui dalam ilmu kalam terdapat beberapa
aliran yang saling bertentangan. Timbullah pertanyaan dalam diri al-Ghazali,
aliran manakah yang betul-betul benar di antara semua aliran itu?
Seperti dijelaskan al-Ghazali dalam kitabnya al-Munqiz min
al-Dalal (penyelamat dari kesesatan), ia ingin mencari kebenaran yang
sebenarnya, yaitu kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari pada
tiga.[1]
B.
Pemikirannya
Pemikiran filsafat terpenting yang dimunculkan oleh
Al-Ghazali ialah kritik dan serangannya
terhadap filsafat. Selain itu terdapat juga pemikirannya tentang epistemology
dan tentang jiwa.
1.
Kritik dan Serangan
Terhadap Filsafat
Sebelum membicarakan kritik dan serangan yang dilakukan
Al-Ghazali terhadap filsafat, terlebih dahulu perlu dikemukakan bagaimana
pandangan Al-Ghazali terhadap filosof. Hal ini penting karena dari filosof
itulah munculnya pemikiran fisafat yang sering di antara pemikiran filsafat itu
ada yang di kritik dan diserang oleh Al-Ghazali.
Al- Ghazali mempelajari dan memperdalam filsafat adalah
secara otodidak. Meskipun secara otodidak, namun ia berhasil menguasai filsafat
yang ada pada saat itu, dan juga ia mampu memberikan pandangan atau penilaian terhadap
para filosof. Di dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal ia mengatakan bahwa
para filosof itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu:
a.
Golongan Atheis (Dahriyyun)
Golongan ini mengingkari adanya Tuhan, pencipta alam semesta.
Menurut mereka, alam ini telah ada dengan sendirinya sejak semula. Adanya alam
bukan karena diciptakan. Kareana itu, tidak ada yang menciptakan ala mini.
Dengan demikian, mereka mengingkari adanya Tuhan.menurut Al-Ghazali mereka ini
Zandiq.
b.
Golongan Naturalis
(Thabi’iyyun)
Golongan ini memusatkan perhatiannya pada alam fisika,
terutama hewan dan tumbuh-tumbuhan. Keajaiban yang mereka temukan dalam masalah
ini telah membawa mereka mengakui adanya Pencipta Yang Maha Bijaksana. Hanya
karena dugaan bahwa adanya daya berpikir pada manusia mengikuti tempramen itu,
maka mereka berpendapat bahwa jiwa akan fana, dan tidak akan kembali lagi.
Konsekuensinya mereka mengingkari adanya
hari akhirat, surga, dan neraka.
c.
Golongan Theis (Ilahiyyun)
Golongan ini mereka mengakui adanya Tuhan, seperti Sokrates,
Aristoteles, dan para pengikutnya, termasuk para pengikutnya dari kalangan
filosof Islam seperti Al-Farabi dan Ibnu sina. Meskipun mereka itu mengakui
adanya Tuhan, namun sebagian dari pendapat atau pemikiran filsafat mereka,
menurut Al-Ghazali ada yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pendapat para filosof bahwa alam adalah qadim, menurut
Al-Ghazali, bertentangan dengan ajaran Islam. Karena dalam ajaran Islam, Tuhan
adalah pencipta, dan dialah pencipta alam semesta ini. Sedang Pencipta adalah
yang mewujudkan dari tiada kepada ada. Kalau alam ini qadim, maka alam telah
ada sejak azali, adanya tidak punya permulaan, dan tidak pernah tidak ada
sebelumnya. Kalau demikian, berarti alam ini tidak diciptakan, dan Tuhan bukan
Pencipta. Pencipta menurut paham teologi Islam adalah mewujudkan alam dari
tiada kepada ada. Hal ini berarti bahwa ala mini adanya punya permulaan dan
sebelumnya ia tidak ada. Dengan demikian, mestilah alam ini tidak qadim. Oleh
karena itu, jelaslah pendapat kalangan filosof bertentangan dengan ajaran
teologi Islam. Itulah yang menjadi alasan bagi Al-Ghazali menyerang pendapat
tersebut dan menyatakan bahwa mereka yang berpendapat itu telah menjadi kafir.
Kemudian pendapat tidak ada kebangkitan jasmani di akhirat
dan yang ada hanya kebangkitan rohani, menurut Al-Ghazali, bertentangna dengan
ajaran Islam. Meskipun secara akal pikiran tidak mungkin jasmani yang telah
hancur binasa itu dapat dikembalikan seperti pada waktu masih hidup. Akan
tetapi, menurut Al-Ghazali, karena sifat kemahakuasaan Tuhan, bahwa Tuhan mampu
membangkitkan kembali tubuh dan tulang belulang manusia yang telah hancur menjadi tanah ke dalam bentuk semula.
2.
Epistemology
Epistemology secara sederhana dapat diartikan dengan ilmu
yang membahas tentang ilmu dan bagaimana cara memperolehnya. Karena
pembahasannya yang demikian, maka epistemology merupakan bagian dari filsafat.
Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan
bahwa kebenaran yang ingin ia dapatkan adalah kebenaran yang sejati, yaitu
kebenaran yang diyakini betul-betul kebenaran, sebagaimana kebenaran sepuluh
adalah lebih banyak dari tiga. Sekiranya, kata Al-Ghazali, ada orang yang
mengatakan bahwa tiga adalah lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa
tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang dapat ia lakukan, saya akan
kagum terhadap apa yang dapat ia lakukakn, namun keyakinan saya bahwa sepuluh
lebih banyak dari pada tiga tidak akan goyah. Seperti inilah, meurutnya, ilmu
atau pengetahuan yang sebenarnya. Pengetahuan yang kebenarannya dapat diyakini
betul-betul kebenaran yang sebenarnya itulah, kata Al-Ghazali, yang ia cari.
Al-Ghazali pada mulanya beranggapan bahwa pengetahuan itu
adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Tetapi kemudian,
menurutnya, panca indera juga berdusta. Contohnya bintang-bintang yang ada di
langit, kelihatannya kecil, tetapi perihitungan menyatakan bahwa
bintang-bintang itu lebih besar dari bumi. Karena itu, ia berubah menjadi tidak
percaya kepada panca indera.
Kemudian Al-Ghazali meletakkan kepercayaannya kepada akal,
yang kemudian berubah menjadi tidak percaya. Itulah sebabnya Al-Ghazali
berpendapat filsafat tidak memberikan pengetahuan yang dapat diyakini
kebenarannya.
Akhirnya, Al-Ghazali merasa mendapatkan pengetahuan yang
dapat diyakini kebenarannya dalam ilmu tasawwuf. Menurutnya, pengetahuan yang
dapat diyakini kebenarannya itu adalah pengetahuan yang diberikan Tuhan ke
dalam hati sufi tertentu yang hatinya telah bersih dan sanggup menerima
pengetahuan tersebut. Pengetahuan seperti ini oleh Al-Ghazali disebut ma’rifah.
Orang yang hatinya bersih itu adalah para sufi yang telah
menjalani riyadhah (latihan ibadah), mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu),
dan tazkiah al-qalb (membersihkan hati) sebagaimana yang terdapat dalam ajaran
tasawuf. Oleh karena itu hanya di dalam tasawuflah bagi Al-Ghazali pengetahuan
yang kebenarannya dapat diyakini itu bisa didapatkan.
Dari keterangan di atas ini dapat dipahami bahwa dari segi
epitemologi bagi Al-Ghazali pengetahuan yang benar-benar mengandung kebenaran
adalah bersumber dari Tuhan dan diperoleh oleh orang tertentu melalui ilham,
seperti yang diperoleh oleh para nabi melalui wahyu.[2]
3.
Tentang Jiwa
Jiwa, menurut Al-Ghazali adalah jauhar (substansi) yang
halus, dan ia bukan ‘aradh (aksiden). Ia mempunyai wujud sendiri, lain dari
jasad. Jiwa bearada di alam spiritual, sedang jasad di alam materi. Jiwa
berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifat jiwa ilahiyah. Jiwa setiap orang
diciptakan Tuhan di alam arwah pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa
lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad menjadi musnah, tetapi
jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut,dan ia akan
abadi meskipun jasad telah menjadi musnah.
Menurut Al-Ghazali, semua yang ada pada jasad merupakan
pembantu jiwa. Sebagian dari pembantu itu terlihat nyata, seperti tangan, kaki,
dan bagian-bagian tubuh luar dan dalam yang lain. Pembantu lain yang tidak
terlihat, dapat dikelompokkankepada tiga macam, yaitu:
1.
Yang berfungsi sebagai
sumber bagi motif dan rangsangan, motif (dorongan) yang merusak disebut
kemarahan.
2.
Kekeuatan yang menggerakkan
anggotan badan ke arah benda yang diinginkan atau menjauhi benda yang dibenci,
ini menebara pada semua anggota tubuh, khususnya pada otak dan syaraf.
3.
Kemampuan menangkap
pengetahuan, yang terdiri dari dua macam alat, yang pertama pancaindera, dan
yang kedua ialah lima daya yang berada pada lima tempat di otak manusia.
Kemampuan-kemampuan ini adalah daya khayal, yaitu penggambaran atau
representasi, daya simpan, daya pikir, daya ingat, dan indera bersama.[3]
4.
Golongan Manusia
Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu
sebagai berikut:
1.
Kaum awam, yang cara
berfikirnya sederhana sekali
2.
Kaum pilihan yang akalnya
tajam dan berfikir secara mendalam.
3.
Kaum ahli debat
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak
dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan
menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap member nasehat dan petunjuk.
Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap
menjelaskan hikmah-hikmah,sedang kaum ahli debat dengan sikap mematahkan
argument-argumen.
Sebagaimana filosuf-filosuf dan ulama-ulama lain, al-Ghazali
dalam hal ini membagi manusia ke dalam dua golongan besar, awam dan khawas,
yang daya tangkapnya tidak sama. Oleh karena itu, apa yang dapat diberikan
kepada golongan khawas tidak selamannya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan
sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak
selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut daya fikir
masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kamu khawas, sebaliknya
membaca yang tersirat.[4]
C.
Karya Al-Ghazali
Di antara karangan yang banyak dari Al-Ghazali itu ada
beberpa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan ulama Indonesia. Namun
sangat dikenal oleh negeri barat. Yaitu di antaranya buku yang menyebabkan
polemic di antara ahli filsafat, buku tesebut adalah maqashidul falasafah
(tujuan para ahli filsafat) dan kitab tahafut al falasafah (keberantakan para
filosuf).
Ibnu Al ‘Ibri dan Raymond Martin banyak mengambil
pikiran-pikiran Al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal
(Perancis 1623-1662) dan filosuf-filosuf barat lainnya sebagaimana yang diakui
Asin-Palacios, banyak persamaan dengan Al-Ghazali dalam pendiriannya, bahwa
pengetahun-pengetahuan agama tidak bisa diperoleh dari akal pikiran, melainkan
harus berdasarkan hati dan rasa.
Thomas Aquinas (Italia, 1226-1274) yang dengan pedasnya
menyerang Al-Ghazali, ketika menguraikan penglihatan (ru’yat) manusia terhadap
Tuhan di akhirat, uraiannya sama dengan uraian Al-Ghazali, Dante (Italia,
1265-1321 M.) dalam menulis bukunya, devina commidia (komidi ketuhanan) banyak
mengambil tulisan Al-Ghazali tentang mi’raj.
Karangan Al-Ghazali, disamping ada teman-teman yang sepaham
dengan pemikirannya, ada pula yang menentang pemikirannya. Adapun yang sepaham
adalah Renan Casanova, Carro De Vaux, dan lain-lain. Sedang yang menentang
adalah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain dari kalangan
fuqaha.
Adanya penyerangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf adalah
disebabkan oleh sikap Al-Ghazali yang menentang para filosuf Islam, bahkan ia
sampai mengkafirkan dalam tiga hal yaitu:
1)
Pengingkaran terhadap
kebangkitan jasmani
2)
Membatasi pengetahuan Tuhan
kepada hal-hal yang besar saja, dan
3)
Adanya kepercayaan tentang
qadimnya alam dan keasliannya.[5]
Karya al-Ghazali di bidang
Filsafat:
a.
Maqashid al-Falasifat,
berisi mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu mantiq,
fisika, dan ilmu alam.
b.
Tahafut al-Falasifat,
berisi pertentangan yang ada dalam ajaran filsafat, serta dijelaskannya juga
ketidaksesuainnya dengan akal
c.
Al-Ma’riful ‘Aqliyah, kitab
ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemudian hakikat apa
yang dihasilkan serta kea rah mana tujuan pastinya.[6]
PENUTUP
Pemikiran filsafat
terpenting yang dimunculkan oleh Al-Ghazali ialah kritik dan serangannya terhadap filsafat.
Selain itu terdapat juga pemikirannya tentang epistemology dan tentang jiwa.
Di dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal ia mengatakan bahwa
para filosof itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu:
Golongan Atheis (Dahriyyun), Golongan Naturalis (Thabi’iyyun)
dan, Golongan Theis (Ilahiyyun).
Mengenai epystemologi al-Ghazali menjelaskan bahwa kebenaran
yang ingin ia dapatkan adalah kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang
diyakini betul-betul kebenaran, sebagaimana kebenaran sepuluh adalah lebih
banyak dari tiga. Sekiranya, kata Al-Ghazali, ada orang yang mengatakan bahwa
tiga adalah lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia
jadikan ular, dan hal itu memang dapat ia lakukan, saya akan kagum terhadap apa
yang dapat ia lakukakn, namun keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari
pada tiga tidak akan goyah.
Sedangkan jiwa,
menurut Al-Ghazali adalah jauhar (substansi) yang halus, dan ia bukan ‘aradh
(aksiden). Ia mempunyai wujud sendiri, lain dari jasad. Jiwa bearada di alam
spiritual, sedang jasad di alam materi.
Jadi, al-Ghazali sebenarnya adalah seoarang pemikir, dia
mendefinisikan sesuatu dengnan ilmu tasawuffnya. Termasuk kritikan yang dia
berika terhadap para filosof yang menurutnya keluar jalur dari ajaran Islam
sebagaimana yang disebutkan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
AB,
Hadariansyah. Pengantar Filsafat Islam, Cet. Ke-1. Banjarmasin:Kapusari
Press, 2012.
Maftukhin.Filsafat Islam, Cet. Ke-1.
Yogyakarta: Teras Perum Polri Gowok, 2012.
Mustofa,
Ahmad. Filsafat Islam, Cet. Ke-1. Bandung: CV Pustaka Setia,1997.
M.M.
Syarif. Para Pilosof Muslim. Mizan:1963.
Sudarsono.Filsafat
Islam, Cet. Ke-1. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar